Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i (Pembagian Hukum Islam) – Assalamualaikum sahabat Pendidik, kali ini kita akan membahas mengenai pembagian hukum dalam Islam. Nah mungkin ada diantara kita yang sudah mengetahuinya, namun ada juga yang belum tau atau bahkan hanya mengetahui sedikit tentang pembagian hukum Islam ini.
Pada kesempatan kali ini Pendidik akan memberikan penjelasan secara lengkap mengenai pembagian hukum Islam, agar kita dapat mengetahui lebih dalam tentang ajaran Islam.
Untuk itu langsung saja yuk kita simak penjelasannya berikut ini:
Contents
Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i (Pembagian Hukum Islam)
Islam sangat mementingkan hukum, karena hukum dalam Islam adalah suatu syariat yang berarti aturan yang telah Allah adakan untuk seluruh hambaNya, yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw, baik itu hukum yang berkaitan dengan aqidah (kepercayaan) ataupun hukum yang berkaitan dengan amaliyah (perbuatan).
Menurut Para Ulama Ushul Fiqih, Hukum Islam dibagi menjadi 2 bagian yakni Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Hukum Taklifi
Pertama hukum Taklifi, merupakan perintah Allah SWT yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Sedangkan menurut bahasa taklifi artinya adalah hukum pemberian beban.
Arti lain dari hukum taklifi adalah suatu ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf (aqil baligh) atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan suatu perbuatan hukum baik dalam bentuk kewajiban, hak, maupun dalam bentuk larangan.
Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai perihal perbuatan orang yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal. Tuntutan karena hukum taklifi ini bagi seorang mukallaf harus melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti.
Sedangkan bagi seorang yang sedang tertidur, mabuk, orang gila, dan anak-anak bukanlah seorang mukallaf sehingga tidak bisa dikenakan sanksi hukum.
Sebagaimana dalam Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah ayat 110:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “Dan laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Tuntutan untuk melakukan perbuatan)
Sedangkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Isra’ ayat 33:
وَلَا تَقۡتُلُوا النَّفۡسَ الَّتِىۡ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالۡحَـقِّ ؕ وَمَنۡ قُتِلَ مَظۡلُوۡمًا فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِـوَلِيِّهٖ سُلۡطٰنًا فَلَا يُسۡرِفْ فِّى الۡقَتۡلِ ؕ اِنَّهٗ كَانَ مَنۡصُوۡرًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zhalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Tuntutan Allah SWT yang mengandung pilihan bagi hambaNya untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, sehingga hukum Taklifi dibagi menjadi 5 macam, berikut penjelasannya:
1. Wajib
Yakni tuntutan yang harus diperbuat secara pasti. Wajib merupakan suatu perkara yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa.
Contoh: Mengerjakan sholat, puasa, membayar zakat dan lain sebagainya.
Pembagian wajib, dari segi waktu pelaksanaannya yakni:
a. Wajib Muthlaq, yakni kewajiban yang tidak ditentukan pelaksanaannya, sehingga tidak salah jika waktu pelaksanaannya ditunda hingga seseorang tersebut mampu melaksanakannya. Contoh: Melaksanakan kafarah sumpah yang waktunya tidak ditentukan oleh syara’.
b. Wajib Muaqqad, yakni kewajiban yang waktu pelaksanaannya telah ditentukan, sehingga tidak sah jika dilakukan diluar waktu yang sudah ditentukan. Contohnya pelaksanaan puasa ramadhan.
Adapun wajib muaqqad ini dibagi menjadi 3, yakni:
- Wajib muwassa’, yakni waktu untuk melakukan kewajiban tersebut melebihi waktu pelaksanaanya. Contoh sholat lima waktu, yakni sholat isya dari petang hingga subuh.
- Wajib mudhayyaq, yakni kewajiban yang menyamai waktunya dengan kewajiban tersebut. Contoh, puasa ramadhan yakni waktu mulainya dan berakhirnya sama dari terbit fajar hingga maghrib.
- Wajib dzu syahnaini, yakni kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya berisi dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq, yaitu waktu mulainya sama dengan waktu berakhirnya serta waktunya panjang, contohnya ibadah haji.
2. Sunnah
Yakni suatu tuntutan yang mengandung suruhan namun tidak wajib dikerjakan. Sunnah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf akan memperoleh pahala dari Allah SWT dan apabila tidak dikerjakan tidak mendapatkan dosa dan pahala.
Contoh: Sholat diluar sholat lima waktu, sedekah, dan lain sebagainya.
a. Pembagian Sunnah berdasarkan selalu dan tidaknya Nabi melakukan sunnah tersebut, diantaranya adalah
- Sunah Muakkad, yakni suatu perbuatan yang dianjurkan dengan penekanan yang kuat (hampir mendekati wajib namun dibawah fardhu). Contohnya sholat witir, sholat tahajud, sholat 2 rakaat sebelum subuh.
- Sunnah Ghoiru yakni suatu perbuatan yang tidak terlalu dianjurkan, namun apabila dikerjakan akan memperoleh pahala. Contohnya sholat tahiyatul masjid, sholat rawatib dan lainnya.
3. Haram
Yakni tuntutan untuk meninggalkan secara pasti. Haram merupakan suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan dosa atau ancaman dari Allah SWT, dan apabila meninggalkannya maka akan mendapatkan pahala. Contohnya mabuk mabukan, judi dan lain sebagainya.
4. Makruh
Yakni tuntutan yang mengandung larangan dan sebaiknya dijauhi. Makruh adalah suatu perbuatan yang apabila dikerjakan tidak berdosa, namun apabila ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contohnya merokok, bercerai.
5. Mubah
Yakni sesuatu yang dapat kita pilih apakah harus dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah adalah segala perbuatan yang apabila dikerjakan tidak apa-apa, dan apabila ditinggalkan juga tidak apa apa. Artinya tidak mendapat dosa dan juga pahala. Contohnya makan, minum, tertawa, memilih warna baju dan lain sebagainya.
Hukum Wadhi’
Hukum wadhi’ adalah hukum yang bersifat mengetahui tentang situasi atau kondisi bagaimana tuntutan tersebut dan lainnya itu dapat diberlakukan.
Dengan kata lain, hukum wadhi’ adalah suatu hukum yang berkaitan dengan 2 hal yakni antara 2 sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab) antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Adapun macam-macam hukum wadhi diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sebab (As-Sabab)
Yakni segala sesuatu yang memungkinkan dengannya dapat sampai pada tujuan. Sehingga sebab itu diibaratkan dengan suatu “jalan” karena dapat menyampaikan seseorang kepada tujuannya tersebut.
Sehingga sebab adalah sesuatu yang dapat dijadikan adanya hukum, maka al-sabab terbagi menjadi 2, yakni:
- Sebab yang berasal dari Allah SWT, yang dijadikan sebagai tanda adanya hukum. Contohnya waktu sholat sudah datang dan menjadikan sebab untuk wajib melaksanakan sholat.
- Sebab yang berasal dari perbuatan manusia, yakni orang mukalaf yang dapat menyebabkan agama menetapkan akibat-akibat hukumnya. Contohnya bepergian di bulan Ramadhan menjadikan sebab rukhsah (keringanan) yang membuat seseorang boleh tidak berpuasa saat itu, dengan syarat wajib membayar puasa tersebut di lain waktu.
2. Syarat
Yakni segala sesuatu yang tergantung kepada adanya hukum, sehingga ada tidaknya hukum tergantung pada ada dan tidaknya syarat, namun adanya syarat belum tentu adanya hukum. Adapun syarat terdiri dari 2, yakni:
- Syarat yang menyempurnakan sebab, yakni al-syarthu menguatkan akan makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Contohnya melaksanakan penjagaan pada harta yang merupakan syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
- Syarat yang menjadikan musabab, yakni menguatkan hakikat al-musabab atau rukunnya. Contohnya berwudhu serta menghadap kiblat merupakan syarat untuk menyempurnakan sholat atau syarat sah sholat.
3. Penghalang (Mani’)
Al-Mani’ menurut bahasa artinya penghalang dari sesuatu. Sedangkan menurut istilah al-mani’ adalah sesuatu yang telah disyariatkan sebagai penghalang bagi adanya suatu hukum atau sebagai penghalang bagi berfungsinya sesuatu sebab.
Adapun mani’ terdiri dari 2 macam, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Mani’ al-hukmi, yakni al-mani’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Terdiri dari 3 macam, yakni:
- Mani’ yang membebaskan hukum taklifi, seperti gila, sebab orang yang gila bukanlah orang yang mukalaf selama ia sedang gila.
- Mani’ yang membebaskan hukum taklifi, seperti seorang wanita yang sedang haid tidak boleh tidak wajib sholat. Bahkan dilarang sholat.
- Mani’ yang tidak membebaskan sama sekali hukum taklifi, namun hanya diberikan keringanan dari tuntunan yang pasti ke mubah. Seperti sakit yang menjadi penghalang untuk wajib sholat jum’at.
b. Mani’ al-sabab, yakni menghilangkan sebab yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti pembunuhan menghalangi hak waris.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i (Pembagian Hukum Islam). Semoga dapat bermanfaat dan menambah wawasan. Terimakasih 🙂